IBNU THUFAIL
Disusun Oleh:
Rudiman |
: |
18112144 |
Dewi oktaviani |
: |
18112163 |
Ananda nabila |
: |
18112173 |
Nopyah |
: |
18112189 |
Pemikiran seseorang tentunya tidak terlepas
dari pengaruh zaman dan tempat dimana orang itu berada. Zaman dan tempat akan
mempengaruhi corak pemikiran itu sendiri.
Perkembangan pemikiran di tengah-tengah
peradaban manusia mengalami ritme perjalanan yang panjang.perjalanan itu
sebagai usaha purifiasi pemikiran yang di kembangkan di masing-masing
peradaban.berbekal perspektif dari berpikir secara filosofi sebagai sunnah
kenabian Rasulullah saw,[1]Ibnu
Thufail memberikan suatu paradigma mistis atas pemikiran dunia timur.dari
ulasan yang di kemukakannya dia menyampaikan bahwa hakikat pemikiran
kefilsafatan yang telah di bangun dalam kerangka konfrintatif sejatinya
merupakan bagian yang bisa berdialektika secara intensif dan mutual.Berpijak
kepada usaha untuk membangun hakikat dialektik filsafat dan agama sebagai warna
hakiki pemikiran dalam dunia islam.ibnu thufail mengilustrasikan suatu hikayat
filosofi hayy bin yaqzan,sebuah kisah filosofi dari usaha manusia membangun
titik –titik rasionalitas dalam pertumbuhan berpikir mereka.Dalam realitasnya,
kehidupan manusia di gambarkan oleh ibnu thufail sebagai pribadi yang telah
membawa ide-ide bawaan.Hal ini dikuatkan melalui perspektif yang di bangun oleh
plato.Manusia yang dipersonifikasikannya melalaii kedirian hayy bin yaqzan
menjelaskan kenyataan manusia yang mampu mencipta pemilahan diantara kebutuhan
dan dorongan –dorongan yang akan mengisi ruang-ruang dari kehidupan mereka.
Kata Kunci:
Manusia,Filsafat Yunani,Filsfat Islam,Ibnu Rusyd
Dalam perjalanan panjang sejarah kefilsafatan
di dunia timur eksistensinya disandingkan dengan konstruk pemikiran
kefilsafatan pada masa yunani.Tak pelak lagi periodisasi perjalanan
kefilsafatan yang berlaku seringkali di kompromisasikan sebagai suatu keadaan
yang saling bersilang diantara satu peradaban dengan peradaban lain.filsafat
islam di sinyalir sebagai bentukan baru dari pemikiran filsafat yunani yang
terkemas dengan kaidah-kaidah keislaman yang di perbaharukan.
Tidak bisa di pungkiri banyak perspektif di
munculkan oleh para pengkaji bahwa filsafat islam didudukan eksistensinya
sebagai penerjemah dari realita kefilsafatan yang muncul pada zaman yunani.Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh syafieh(syafieh,”Fislafat Islam Dunia Islam
Barat Ibnu Bajjah Dan Ibnu Thufail”[2]bahwa
sejarah proses sejarah masa lalu,tidak dapat mengelakan pemikiran filsafat
islam terpengaruh filsafatYunani.Para filsofos islam banyak mengambil pemikiran
Aristoteles dan banyak tertari pada pemikiran Plotinus,sehingga banyak teori
filosof Yunani diambil dalam filosof islam.
Ibnu bajjah adalah salah satu ahli yang
menyadarkan pada teori dan praktek dalam ilmu ilmu
matematika,astronomi,music,mahir pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti
logika,seperti ilmu alam dan metafisika.sebagaimana yang di katakana oleh De
Boer dalam”the history of philosophy in
islam bahwa Ibnu Bajjah benar –benar sesuai dengan Al-Farabi dalam banyak
karya tulisnya tentang ligika dan secara umum setuju dengannya,bahkan dengan
doktrin-doktrin fisika dan metafisikanya.[3]
Jika dilihat secara seksama dari usaha yang
dibangun oleh ibnu thufail atas karya monumentalnya tentang hayy bin yaqzan,terlihat
bahwa secara hakiki usaha besarnya adalah menunjukan warna pemikiran
kefilsafatanyang bernuansakan prinsip-prinsip ketimuran dalam kaidah ini adalah
filsafat islam.uaha yang dieksplorasi oleh ibnu thufail diatas ssejatinya ingin
menunjukan bahwa disiplin kefilsafatan dalam dunia islam adalah sebuah realiras
kedisplinan yang berdiri secara terpisah dari filsafat yunani.
Beberapa perspektif yang diketengahkan dalam
filsafat islam secara niscaya diarahkan kedalam suatu usaha untuk menjelaskan
bahwa warna filsafat kenabian secara nyata muncul dalam peradaban filsafat
islam namun hal tersebut tidak terjadi dalam filsafat yunani.Mengetengahkan
tentang kondisi ini ibnu sina menggambarkan bahwa gambaran dalam filsafat
kenabian dijelaskan dalam jiwa manusia terdapat dalam kekuatan yang
membedakannya dari binatang dan benda lain.
Makalah ini secara spesifik ingin menguraikan
pemikiran, karya karya salah satu filosof muslim yang terkenal dengan
filosofisnya Hayy bin Yaqzan adlah Ibnu Thufail seorang filsof musli yang hidup
pada masa kholifah Abu Ya’quf Yusuf, dinasti Al-Muwwahid Spanyol.
Penulis berharap adanya makalah yang singkat
ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua.
1.
Biografi Ibnu Thufail
Ibnu Thufail mempunyai nama lengkap yaitu Abu
Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail Al Qaisy al Andalusi. Dikenal dengan nama latin Abubacer. Ia bergelar Al Andalusi an Al
Qurthubi. Ia lahir di Wali Asy ( Qadis atau Guandix )sebuah lembah yang subur
yang terletak 16 km di Granada, Andalusia ( kini spanyol ) paa tahun 506 H atau
110 M, Ibnu Thufail berasal dari
keluarga yang terkenal dan
terkemuka. Ibnu Thufail berhasil tampil sebagai seorang yang alim diberbagai
bidang keilmuwan. Ia menguasai ilmu kedokteran, kesusastraan, matematika,
astronomi, dan filsafat.[4]
Buku –buku biografi menyebutkan beberapa
karangan Ibnu Thufail yang menyangkut beberapa bidang filsafat, seperti
filsafat fisika, metafisika, kejiwaan, dan sebagainya. Disamping
risalah-risalah ( surat-surat ) kiriman kepada Ibnu Thufail. Tetapi
karangan-karangan tersebut tidak sampai
kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail,
yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Ibnu
Thufail tergolong filsuf dalam masa skolastik islam. Pemikiran kefilsafatannya
cukup luas, termasuk metafisika. Dalam pencapaian ma’rifatuallah, ia menempatkan sejajar antara akal dan syariat.
Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada tempatnya. Karena
syariat sumbe rnya adalah wahyu ( yakni dari Tuhan ), sedangkan akal merupakan
aktivitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah dampak mencari alasan
rasional bagi syariat mengenai dalil-dalilaanya Tuhan.[5]
Ibnu
Thufail juga dikenal sebagai filsuf muslim yang gemar menuangkan pemikirannya
melalui kisah-kisah. Semasa hidupnya,ia terkenal sebagai penulis novel
filsafat. Pada masa sekarang ini, mungkin kita pernah atau bahkan sering
mendengar novel filsafat yang berjudul Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dari
Norwegia yang mengisahkan pengalaman seorang gadis berumur empat belas tahun, bernama Sophie.
Ceritanya, hampir setiap hari Shopie mendapatkan surat misterius yang
mempertanyakan asal mula manusia, keberadaan dunia, dan pertanyaan filosofis
lainnya. Pertanyaan seperti itu memang tak pernah terlintas dalam benak Shopie
sebelumnya. Meski semula kebingungan, akhirnya remaja itu menikmati
pertualangan di dunia filsafat. Lewat pengalaman Shopie, pembaca pun turut
memahami filsafat.[6]
Cara yang sama telah dilakukan berabad-abad
silam oleh Ibnu Thufail. Ia mengamae pandangan filsafatnya melalui filsafat
“novel”pula, yang bertajuk Hay ibn Yaqhzan ( The Living Son of Vigilant ).
Karyanya tersebut memang terinspirasi oleh murid-murid Ibnu Sina yang bernama
Hayy Ibn Yaqhzan, Salaman, dan Absal. Novel itu merupakan sebuah karya paling
cemerlang pada
abad pertengahan.
Melalui buku ini Ibnu Thufail mengajak
pembacanya untuk turut merasakan langsung dan memahami pandangan filsafatnya.
Secara garis besar, ia menggambarkan tentang pengetahuan manusia yang muncul
dari kekosongan. Kmudian ia menemukan pengalaman mistik melalui hubungan dengan
tuhan, dengan laku spiritual yang tak hanya dilaksanakan sebagai ritual an sich.
Untuk mencapai pengalaman tersebut,manusia juga mestinya “mematikan”
dirinya.
Thufail juga ingin mengemukakan dua fakta
penting dakam cerita tersebut. Pertama, disamping
keberagaman benda, terdapat sebuah kesatuan. Dan selalu ada sesuatu,yaitu jiwa
yang selalu transenden.Thufail akhirnya menyadari bahwa pasti ada sebab awal
terbentuknya dunia. Dunia
tidak terjadi tanpa adanya ruang dan waktu. Dan penyebab semuanya adalah tuhan.
Thufail
juga menyimpulkan bahwa
hanya satu jalan untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan dan setelah
hidupnya, yakni kehadiran sebuah energy yang selalu menuntunnya kepada tuhan.
2.
Karya
Ibnu Thufail
Ibnu
Thufail tidak banyak memiliki karya,hanya satu yang tersisa sampai hari ini
yaitu Rislah Hayy Ibnu Yaqzan. Hayy Ibnu Yaqzan ini memiliki dua versi,
yakni versi Ibnu Thufail dan Ibnu Sina. Tetapi Ibnu Sina sudah lebih dulu
menggunakan judul tersebut,kendati versinya berbeda. Dalam karyanya, Thufail
berupaya melakukan rekonsiliasi antara agama dan spekulasi rasional. Padahal
para filsuf sebelum dan sesudah masanya jarang melakukan hal tersebut. Paling
tidak, ada upaya Thufail untuk mempertemukan antara filsafat dan agama.
Ia tak hanya menekankan pentingnya membahas eksistensi Tuhan dengan sebuah
alasan yang masuk akal. Ia menyakini ada sebuah jalan mistis yang dapat
dirasakan jika berhubungan dengan Tuhan, tentunya melalui luka spiritual yang
dijalankan secara teratur. Pandangannya ini dianggap oleh berbagai kalangan
sebagai sebuah pencerahan.
Risalah
(buku) Hayyu bin Yaqdzan yang ditulis oleh Ibnu Thufail sesungguhnya berisi
berbagai rumus filsafat yang disampaikan dengan lambang Hayyu bin Yaqdzan
adalah lambang akal fikiran, sedangkan teman-temannya melambangkan selera,
syahwat, perasaan marah dan tabiat-tabiat lainnya yang lazim ada pada manusia.
Dia menyusun risalah itu dalam bentuk hikayat. Dalam mukadimahnya Ibnu Thufail
menjelaskan tujuan buku yang ditulisnya, yaitu menyaksikan kebenaran (al-haqq).
3. Pemikiran Ibnu Thufail
Risalah
Hayy bin Yaqdzan tersebut secara simbolis memuat pemikiran filsafat Ibnu
Thufail yang meliputi berbagai aspek.
a.
Tentang Tuhan
Alam
ini ada penciptanya, yang tiada lain adalah Tuhan. Dia yang mengeluarkan dari
“ketiadaan” ke maujud (creatia ex nihili) dan tidak mungkin keluar (tercipta)
dengan sendirinya. Gambaran sifat-sifat Tuhan adalah Tuhan itu jauh dari sifat
kekurangan, karena kekurangan itu sendiri tidak lain kecuali “ketiadaan murni”
(adam al-mahd) atau yang berkaitan dengan ketiadaan dan bagaimana mungkin
“ketiadaan” tergantung pada wujud murni (wujud al-mahd) yang wajib wujudnya
dengan zatnya, yang memberikan ada kepada setiap yang wujud. Dari itu tidak ada
wujud selain Dia. Dialah Maha Wujud, Dialah kesempurnaan, Dialah kebaikan,
Dialah pengetahuan dan Dialah sumber segala yang wujud. (Q.S. al-Qasas:88).
b.
Tentang Dunia
Pertama,
apabila alam ini diyakini kekal, maka akan menimbulkan kontradisi yang banyak,
dengan alasan bahwa tidak mungkin wujud sesuatu yang tidak ada akhirnya tidak
mungkinnya wujud materi yang tidak ada lepas dari penciptaan, dan tidak mungkin
mendahului penciptanya, berarti diciptakan. Kedua, apabila diyakini bahwa alam
ini baru (diciptakan), maka akan timbul masalah lain, karena pengertian baru
setelah tiada tidak mungkin dipahami kecuali bahwa didahului oleh waktu, sedang
itu sendiri adalah bagian dari alam dan tidak terpisah. Oleh karena itu tidak
dapat dipahami bahwa alam ini datang sesudah adanya waktu.[7]
Namun Ibnu Thufail dalam pernyataannya menegaskan bahwa apabila alam ini baru
diciptakan, berarti pasti ada yang menciptakan tidak dari dulu.
c.
Tantang Akal dan Wahyu
Pandangan
Ibnu Thufail mengenai kedudukan akal dan wahyu ia tampilkan dalam risalah Hayyu
bin Yaqdzan yang hanya menggunakan rasio dalam memahami realitas kehidupannya,
mengambil konsep-konsep yang tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan
informasi wahyu yang dibawah oleh Asal sang “teolog”. Apa yang diperintahkan
oleh syari’at Islam dan apa yang diketahui oleh akal sehat dengan sendirinya,
berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat tertemu dalam satu titik, tanpa
diperselisihkan lagi. Dengan kata lain, hakikat
kebenaran yang dilakukan oleh filsafat sejalan dengan apa yang ada dalam
wahyu.[8]
d.
Tantang Epistemologi
Bagi
Ibnu Thufail, pengalaman merupakan suatu proses pengenalan lingkungan melalui
indera. Organ-organ indera berfungsi berkat jiwa yang ada dalam hati. Dari situ
berbagai data indera yang kacau mencapai otak yang menyebarkan ke seluruh tubuh
lewat jalur syaraf, yang selanjutnya diproses menjadi kesatuan persetif.
e.
Tentang Derajat
Intelektual Manusia
Pada
tokoh pelaku dalam risalah Hayyu bin Yaqdzan oleh Ibnu Thufail dimaksudkan
sebagai symbol keanekaragaman derajat intelektual manusia. Mereka terbagi dalam
tidak kelompak utama, yaitu: (1) filosof, yang dalam cerita itu diperankan oleh
Hayyu bin Yaqdzan, yang memperoleh kebenaran dari perenungannya atas realitas
alam; (2) agamawan, yang dalam cerita diperankan oleh Asal, yang berpegang
dengan wahyu dalam beragama; (3) masyarakat awam, yang dalam cerita diperankan
oleh Salman dan masyarakat. Mereka dalam beragama hanya berdasarkan tradisi dan
taqlid, serta menerima agama hanya dalam bentuk zahirnya saja.
C.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu
thufail dengan karyanya berjuang untuk mengeksplorasi hakikat dari khasanah
kefilsafatan yang ada di dunia islam. Berbekal pengembaraan diri melalui karya
Hayy bin Yaqzan, Ibnu thufail menyandarkan kepada public atas potensi realistis
manusia guna menyandarkan mereka akan eksitensi manusia dengan rasionalitas
yang memiliki kemampuan untuk mengungkap dinamika kehidupan yang ada
disekitarnya.
Dari
karya hikayat hayy bin yaqzan dapat disimpulkan, ada tiga perbedaan sifat
manusia:
1.
Mampu memikirkan sesuatu
tanpa mengambil dari dalil Al-Qur’an.
2.
Absolute, berfilsafat
dengan dalil dalil Al-Qur’an dan hadits.
3.
Mengambil dalil dari
Al-Qur’an dan hadits tanpa menggunakan filsafat.
B.
Kritik Dan Saran
Ibnu Thufail
hanya dapat mengandalakan akal dalam hal ini pencarian kebenaran dan ini jika dilihat
dalam sudut pandang arti penting akal itulah sangat berguna karena salah satu
ciri akal sehat adalah bisa membedakan antara mana benar dan salah walaupun ending
dari pemikirannnya menghasilkan sebuah paradigma baru(kebenaran yang dapat di
ambil).tetapi,dewasa ini jika kita mencoba berfilsafat ala Ibnu Thufail yang
hanya mengandalkan akal semata untuk mencari sebuah kebenaran dan di gunakan
terus-menerus tanpa balancing,maka akal
bisa sakit juga atau tidak tegak.kita harus bercermin pada kasus yang menimpa
F.Nietzhe yang berfilsafat tanpa control akal sehat tanpa memilah mana benar
mana salah malah berakibat beliau kehilangan akal sehat.
Artinya akal bisa
menjadi sakit juga apabila manusia memegang filosofi-cara pandang tertentu
disamping materialism-skeptisisme-liberalisme juga pluralism.maka dari itu
harus ada balancing dari penggunaan akal itu yaitu wahyu dari Allah swt
;Al-Qur’an-ul karim..
DAFTAR PUSTAKA
Murtianingsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajah. Yogyakarta. Divapres. 2003
Dedi, Supriyadi. Pengantar
Filsafat Islam. Bandung: Cv Pustaka Setia. 2009
Fuad al-ahwani, Ahmad. FILSAFAT
ISLAM. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995
Maftukhin. Filsafat
Islam. Yogyakarta: Teras. 2012
Mas’udi.pemikiranfilsafat ibnu
thufail(khazanah pemikiran filsafat dari timur asrar al-hikmah al-masyriqiyyah)
[1] Fikrah,Jurnal Ilmu Aqidahdan
Studi Keagamaan vol.3 no.2,Desember2015
[2] http://syafieh.blogspot.com/2013/05/filsafat
-islam-dunia- islam -barat-ibnu.htm,diakses pada tanggal,05desember2014.
[3] De Boer,Tj.,The History Of
Philosophyin Islam,edisi bahasa inggris oleh Edward R.Jones Bd.(New
York:Dover Publicationinc,1967).hlm.184
[4] Hanafi,Pengantar Filsafat
Islam(Jakarta:Bulan Bintang,1996),hlm.161
[6] Wahyu Murtianingsih. . Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajah. Yogyakarta:Divapres. 2003.hlm.254
Comments
Post a Comment